Kerikil Itu Batu Juga

Mau curhat sedikit saja…

Belakangan ini saya mengalami beberapa kejadian yang nampaknya biasa saja, tapi meninggalkan jejak bermakna bagi saya, bahkan bisa dibilang menyakitkan.

Kejadian pertama adalah kedukaan yang baru saja terjadi di keluarga saya. My uncle just passed away due to colon malignancy (cancer). So where’s the problem? It is the story behind. Singkatnya, alih-alih pergi ke dokter, beliau malah pergi ke pengobatan alternatif. Sudah bukan rahasia lagi, keterlambatan datang ke dokter karena pasien lebih dulu “bertandang” ke mbah dukun/haji yang menjanjikan kesembuhan dengan kekuatan supranatural, adalah hal yang banyak terjadi dan tak jarang membuat dokter jengah. And i met this typical case several times when i was a medical student. Sebuah pukulan telak bagi saya karena ini harus terjadi pada keluarga dekat saya sendiri. Segala upaya, dari mulai bujuk rayu hingga paksaan, sudah dilakukan untuk membuat beliau mau ke dokter. Tapi apa mau dikata, hingga ajalnya tiba, beliau masih tidak mau pergi ke dokter. Sejak dioperasi, dan di kolonostomi beliau hanya ke beberapa kali ke dokter. Apa yang didapat? Vonis kanker terminal (stadium 4) dan beliau menolak melakukan kemoterapi.

Apa yang terjadi pada pakde saya itu bukan tanpa peranan dari orang2 terdekat di sekitarnya. Ternyata, keputusan untuk berobat di pengobatan alternatif itu juga berkat pengaruh beberapa orang. Mereka menjanjikan ini-itu. Dari mulai biaya murah hingga hasil berupa kesembuhan total. When i heard that words, i really want to scream “YOU GUYS DONT TELL SH*TS! HE IS ON THE TERMINAL STAGE, HE IS DYING, AND HE NEEDS DOCTOR!”  But, it never came up to their ears. Kondisi terminal sama sekali tidak memungkinkan siapa pun untuk menyembuhkannya. Tapi beliau masih bisa mendapatkan pengobatan untuk mengurangi rasa sakit, sehingga kualitas hidupnya, setidaknya, dapat ditingkatkan.   So he can rest in peace.

Kejadian kedua adalah sekelumit pembicaraan singkat yang bermakna sangat dalam bagi saya. Adalah percakapan saya dan kedua orang tua saya di dalam mobil. Ayah tiba-tiba bertanya kepada saya kemana saya berencana melakukan tugas internship (program praktik dokter lulusan baru untuk mendapatkan license). Dengan berhati-hati, saya jawab bahwa saya ingin bertugas di daerah timur Indonesia, seperti Papua, maluku, atau paling minimal NTT. Kehati-hatian saya ini bukan berarti saya tidak yakin terhadap pilihan saya, tapi untuk menjaga perasaan Ayah yang sangat menentang saya untuk bertugas di Papua. Alasannya simpel: Papua adalah daerah rawan konflik. Kemudian Ayah segera menjawab dengan jawaban yang mencengangkan, “ Ayah sama ibu pengennya mba Bela kerja di daerah yang mayoritas masyarakatnya muslim”. Saat itu mobil yang sedang melaju cepat di jalan Tol serasa sangat lambat. Saya masih harus berpikir dua kali, memastikan tidak salah dengar. “Maksud Ayah?” tanyaku dengan nada getir. “Iya, supaya keimanan Mba Bela nambah dan ga kena pengaruh2 negatif dari agama2 lain”, jawab Ayah. Sontak saya membalas,”Yah, justru beruntung kerja di tengah keragaman, indonesia kan ga Cuma Islam, La jadi bisa belajar bertoleransi”. Saya juga meyakinkan beliau kalau saya berencana sekelompok dengan teman-teman yang Insya Allah memiliki pegangan Islam yang kuat. Sehingga tentu saya akan selalu diingatkan jika sudah menyimpang. Namun nampaknya Ayah tidak puas dengan jawaban saya. Menurut beliau, pengaruh-pengaruh atau usaha untuk mengikis keimanan, terutama kaum Islam, itu banyak dan beragam wujudnya. Dari mulai halus sampai yang terang-terangan. Obrolan kami berlanjut ke perdebatan yang tentu dimenangkan oleh Ayah. Ibu lebih memilih diam meski saya tahu, beliau pasti ada di pihak ayah. (She always is) Saya sadar bahwa pendapat saya sulit diterima Ayah sehingga lebih memilih menutup pembicaraan dengan, “yaudah liat aja nanti.” Terkesan kompromistis, tapi hati saya mengatakan pendirian ini tidak akan berubah.

Adalah Ayah yang selalu mengajarkan saya untuk selalu taat beragama dan senantiasa menghindari segala godaan. Saya bersyukur memiliki ayah seperti beliau, tapi saya menyayangkan sentimen negatif terhadap agama lain yang kerap beliau tunjukkan atau bahkan tanamkan dalam keluarga kami. Bukan, beliau bukanlah seorang Islam ekstrimis atau radikal yang memerangi agama selain Islam. Tidak, sama sekali. Keshalehan beliau masih dalam batas wajar. Tapi dia adalah orang yang cenderung mengsubordinasi segala hal yang berbeda dari hal yang diyakininya. Bukan hanya agama, tapi juga dalam kondisi terdapat perbedaan pendapat. Kadang keras kepala. Hal ini berbuah konflik dalam diri saya yang sangat percaya bahwa pluralisme itu indah. Saya risih dengan beliau yang suka bertanya suku dan agama teman-teman saya. Terus kenapa kalau mereka beda agama? Kalau mereka bukan dari suku Jawa? Saya bisa paham dengan cara pandang beliau. Tapi saya gagal paham jika cara pandang itu berimbas pada pembatasan kerja seorang anak yang ingin tulus ikhlas mengabdi pada negara, yang notabene negara bhineka. You can not judge people by their religion, customs, or whatever.  Apalagi kalau alasannya takut keimanan saya luntur. Ya ampun Yah, di Jakarta, godaan lebih banyak. Mau hidup dengan keluarga ulama pun jika diri ini niatnya sudah buruk dan tidak memiliki dasar akidah yang kuat, tetap saja bisa goyah iman itu. So, you can not blame people for not having the same favor as yours. Menu wajib dalam keseharian kita untuk hidup di Indonesia adalah: toleransi. Dan toleransi ini harus mengakar hingga ke tataran mental. Sehingga dapat teraktualisasi dalam setiap judgement kita terhadap orang lain. Bukan hanya sekedar tidak berkelahi dengan orang yang beda agama, tidak mencemooh orang yang beda suku, bukan. Kalau itu semua anak SD juga sudah tahu dan mudah untuk dilakukan. Yang masih sulit, dan saya yakin banyak orang belum mempraktikkan ini, adalah mencegah munculnya sentimen negatif di alam bawah sadar kita.

Saya merasakan sendiri ketika beberapa kali ke NTT, hidup di tengah masyarakat nasrani. Bahkan saya pernah sekali mengikuti kebaktian di gereja setempat (kalau orang tua saya tahu ini pasti dia akan murka). Tujuannya sederhana, bukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan rohani religi. Tapi sekedar penasaran dengan upacara keagamaan mereka. Anggap saja wisata kultural. Tidak ada yang lebih dari itu. Alhamdulillah, sampai saat ini saya masih solat 5 waktu dan belum ada pikiran pindah agama :’) Toh kalau di Bali, saya juga wisata ke Pura milik umat Hindu. Tak ada yang berhak komplain tentang itu, kan?

Dua kejadian di atas memiliki benang merah yang mengajarkan saya bahwa hal-hal yang kita benci dapat terjadi di tengah orang-orang terdekat kita. Tidak jarang hal tersebut adalah yang mampu mengusik prinsip hidup kita. Tentu rasa kecewa yang saya rasakan. Amat mendalam karena terjadi di keluarga sendiri. Tapi tak baik berlama-lama nyinyir terhadap keadaan. Maybe it’s my calling to do something BIG. Something significant which in line with mr. President’s vision: revolusi mental (di lingkup keluarga) :p

Well, Inilah hal-hal kecil yang bermakna besar bagi saya. Seperti kerikil, meski kecil ia juga batu yang keras dan sakit bila terantuknya.

2 thoughts on “Kerikil Itu Batu Juga

  1. Halo bel. awalnya baca tentang Perempuan dalam Islam, trus keterusan ampe di sini deh haha.

    Mau sharing aja. Gue juga sering ngalamin hal macam ini, secara gue adalah dokter pertama di keluarga gue. Awalnya gue benar-benar muak dan sebal dengan segala kekerasan kepala (kebanyakan) keluarga yang lebih memiliih percaya dengan alternatif daripada dokter.
    Cuman, ada beberapa kejadian yang agak nohok gue terkait masalah ini.
    Dulu pas gue internship, pas jaga ICU, ada pasien stroke hemoragik. Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, secara umum aja stroke hemoragik sudah cukup buruk prognosisnya. Nah pasien gue ini (kalo ga salah) punya darah terkumpul sekitar 25 atau 30 cc di hemisfer kanannya. Somnolen, dan napasnya pake ventilator. Gue, yg waktu itu jaga, insist ama keluarganya untuk dilakukan evakuasi (operasi), karena masih akut banget (kurang dari 2 jam). Dan apa yang gue dapet, keluarganya nolak mentah2. Minta diobatin medikamentosa. Waktu itu, karena udah tengah malem, dan gue capek banget, gue jadi agak males berdebat, plus dokter bedahnya udah ngambek dengan segala ketidak jelasannya. Jadinya gue iyain aja dan gue support sebisanya. Perasaan bersalahnya baru muncul besok paginya.
    Tapi, you know what, beberapa minggu kemudian, gue dapet laporan dari teman gue, pasien itu hidup bel! Freakin alive!.Ya emang ga sempurna, karena dia hemiparese, tapi dia bisa ngobrol, senyum-senyum, Oh my god, perasaan bersalah gue jadi dobel dan mikir, “perasaan dari buku2 yang gue pelajarin ga kayak gini deh. seandainya pasiennya jadi dioperasi, belum tentu beliau bisa sesehat ini”
    Jadi, dari cerita gue ini (dan banyak cerita lainnya sih), gue menyimpulkan dua hal bel:
    1. Yang namanya ilmu kedokteran, memang masih banyak serba ketidakpastian. Lo demam dikasih paracetamol belum tentu 100% bebas demam bel. Tapi gue ga bakal panjang lebar di sini sih.
    2. Pasien punya hak untuk menentukan pengobatan setelah diberi penjelasan. Misalnya kayak kasus lo, alm Paman lo. memang kadang menyebalkan bel, menghadapi orang kayak gitu. Tapi, justru di saat kayak gini juga kita perlu empati. Lo harus pahami: 1) mungkin beliau punya banyak pengalaman tidak menyenangkan di rumah sakit. tau ajalah rumah sakit kita semrawaut gini. Mau oke, ke swasta, ya tapi mahal. 2) personality, norm, dan pengalaman hidup beliau pasti juga berperan, dan yang terakhir, 3) Pilihan untuk menghentikan pengobatan juga merupakan pilihan pasien bel. dan kita sebagai profesional, juga harus menghormati hal itu. Muhgkin beliau capek disuntik. Meungkin beliau merasa tidak nyaman dengan obat yang harus selalu diminum dan jumlahnya sedikitses. mungkin beliau ga mau ngerepotin keluarganya.

    anyway, semoga pengalaman2 lo di internship bisa membentuk lo menjadi pribadi yang lebih oke lagi! keep writing!

  2. hi bang Taufik!

    seneng banget dapet feedback dari mantan dokter internship langsung ;”)
    I can’t agree more bang jujur. Hal pertama yang terlintas di kepala gue adalah “gimana bisa convincing pasien kalo keluarga sendiri aja ga bisa” 😦 PR banget jadinya.
    tapi memang sih dalam kasus ini kayaknya gue belum bisa menempatkan diri gue sbg dokter, tapi justru sbg anggota keluarga. makanya kurang berempati.

    thanks anw commentnya. Smoga pasien2 di Indonesia makin cerdas utk membuat keputusan sendiri :’)

Leave a reply to Taufik Cancel reply